Pandangan Syukur Ibnu Atha’illah: Sebuah jalan menuju Eudaimonia
“siapa yang bersyukur, maka sungguh ia telah mengikat nikmat itu dengan erat” (Ibnu Atha’illah)
sebagai manusia rasa-rasanya kita tidak mungkin tidak ingin untuk mencapai kebahagiaan. tiap dari kita pasti menginginkanya. terlepas kebahagiaan dalam bentuk apa, entah fisik, materil, moral, spiritual dll intinya kita mendambakan kebahagian.
bukan hanya manusia di zaman ini, manusia dari ribuan tahun lalu tepatnya sejak zaman yunani kuno(yang tercatat) manusia sudah memikirkan konsep-konsep tentang kebahagian, mulai dari konsep Stoic, Hedonism dan yang akan kita bahas yaitu Eudaimonia.
berbeda dengan dua konsep lain itu Eudaimonia ini lebih mengusung kebahagian pada taraf yang paling tinggi. Eudaimonia tidak hanya mengejar kebahagiaan fisik dan materil tapi juga secara batin dan spiritual. Aristoteles berpendapat bahwa kenikmatan, kebahagiaan, penderitaan, tekanan bisa saja membebani seseorang dalam waktu yang bersamaan. maka dari itu materi belum tentu mengantarkan manusia mencapai kebahagian sejati karena dengan bergelimangan harta, fisik yang indah, pasangan yang sempurna pun tanpa kepuasan batin dan spiritual manusia akan terus mengalami penderitaan itu. bukan materi itu tidak penting tapi jika kita berpikir bahwa kebahagian adalah bergelimang materi lalu kita mengejar materi mati-matian kita akan terjebak dalam penderitaan lain karena kita akan terus merasa kurang dan menginginkan hal yang lebih hingga akhirnya alih-alih merasakan kebahagiaan kita akan merasakan kelelahan dan menderita karena mengejar materi itu.
“….Maka bila kamu mau bersyukur, sungguh Kami akan menambah nikmat itu untukmu, tetapi jika kamu mengingkari nikmat itu sungguh azab Kami sangat keras” (Q.S Ibrahim:7)
Ibnu Atha’illah Assakandari menawarkan konsep syukur sebagai jalan mencapai eudaimonia atau kebahagiaan sejati. dalam kitab hikam beliau menulis “barangsiapa yang tidak mau bersyukur maka berarti ia berusaha menghilangkan nikmat itu dan barangsiapa yang mau bersyukur maka ia telah mengikat nikmat itu dengan kuat” ketidakpuasan kita ketika mengejar materi atau kebahagian fisik lalu melupakan kebahagian batin dan spiritual menurut Ibnu Atha’illah seperti berusaha agar nikmat yang sudah kita terima hilang. rasa syukur membuat kita merasakan kepuasan secara batin karena dengan merasa syukur dan puas terhadap nikmat yang Tuhan berikan kepada kita, kita terhindar dari penderitaan yang disebabkan oleh ketidakpuasan diri kita sendiri.
seperti yang tertulis dalam Al-Quran Surat Ibrahim ayat 7 yang dikutip di atas, ketika kita bersyukur maka Tuhan akan menambah nikmat itu. Allah tidak bilang nikmat seperti apa yang ditambah tidak melulu materi, ketika kita berpikir kalau materi yang ditambah mungkin kita belum syukur. yang Allah tambah adalah kepuasan batin. ketika kita mensyukuri apa yang kita punya ada ketenangan dalam batin kita, merasa puas dan itu adalah hal yang pertama yang Tuhan tambah. contoh: jika kita bersyukur makan dengan indomie ada ketenangan yang kita dapat dan indomie akan terasa lebih nikmat dan kita merasakan bahagia. itu setidaknya sudah ada 3 hal yang Allah tambah ketika bersyukur, ketenangan, kenikmatan juga kebahagian. itu adalah contoh yang dikatakan oelh Ibnu Atha’illah jika kita bersyukur maka kita telah mengikat nikmat itu dengan kuat. badingkan makan indomie yang sama tanpa merasa syukur sambil membayangkan makanan lain atau sambil membandingkan makanan dengan orang yang lebih kaya secara materi kita tidak akan merasakan ketenangan, indomie itu jadi kurang nikmat dan juga kita merasa menderita karena membandingkan diri kita dengan orang lain. itu yang dimaksud Ibnu Atha’illah jika kita tidak mau bersyukur kita seperti berusaha menghilangkan nikmat itu atau kalau dalam bahasa Quran itu adalah azab.
Kebahagian sejati dapat dicapai dengan cara menghargai dan bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah. serta memanfaatkan nikmat tersebut untuk melakukan kebaikan dan digunakan untuk hal yang semestinya. syukur juga tidak hanya di hati atau ucapan, Ibnu Atha’illah mengatakan kalau syukur itu ada 3, Syukur dengan hati yaitu mengakui bahwa semua nikmat itu dariNya. syukur dengan ucapan yaitu mengucapkan Alhamdulillah, berterima kasih pada manusia juga bagian syukur dengan ucapan tapi tetap hati mengakui kalau nikmat itu dari Allah dan kita berterima kasih kepada manusianya sebagai ucapan syukur dia mau menjadi sarana Tuhan mengantarkan nikmat itu untuk kita. syukur dengan angota badan yaitu menggunakan nikmat untuk hal yang semestinya, punya badan sehat digunakan untuk ibadah, usaha, cari nafkah untuk keluarga dll.
syukur ini juga tidak terlepas dari kebermanfaatan diri untuk orang lain. Q.S 93:11 “Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah” menyatakan nikmat yang kita terima kepada orang lain tapi tidak untuk bersombong tapi untuk bersyukur dan berharap orang lain juga bersyukur terhadap nikmat yang telah diperolehnya. salah satu cara menyatakan nikmat Allah itu adalah dengan bersedekah, memberikan orang lain agar orang lain juga merasakan nikmat yang kita rasakan.
dengan menjalankan 3 cara syukur itu mulai dari hati, lisan maupun perbuatan seseorang akan bisa merasakan kebahagian yang sejati. dengan syukur kita akan mengalami ketenangan batin, jika kita tenang kita tidak akan merasakan penderitaan yang disebabkan oleh ketidakpuasan diri kita sendiri, karena kita tidak menderita maka kita bahagia. maka syukur bisa menjadi jalan menuju Eudaimonia atau kebahagian sejati, kebahagiaan yang tidak hanya materi tapi juga kebahagian batin